Sabtu, 30 Januari 2010

Malam-Malam di Malam Terakhir di Sebuah Pasar Malam

Seperti biasa setiap ada acara pasar malam atau sejenisnya, kampung saya membuka lahan parkir dadakan dengan petugas parkir yg dibagi sesuai jadwal ronda (kampung saya masih ada ronda lho). Kebetulan malam minggu ini jadwal bapak saya, dan saya mendapat ‘kehormatan’ untuk mendampingi beliau (kalo ga diajak sudah pasti saya lebih memilih di rumah.hehe)

Nah, ada beberapa kisah yang ingin saya bagi kepada anda semua, hasil perjalanan saya selama semalam di tempat itu :

- Saya ternyata bisa juga jadi tukang parkir.hahaha walaupun cuma sekedar ngasih tanda parkir & minta duit. Tempat parkir silakan cari sendiri.

- Untuk memaksimalkan lahan parkir, warga kami menutup semua akses menuju lokasi pasar malam dilangsungkan, termasuk dengan cara ini, yaitu menutup sebuah pintu masuk dengan pot bunga. Ternyata masih ada saja orang iseng yang ingin masuk gratis. Dia dengan santai menggulingkan pot itu. Dia tidak sadar bahwa salah seorang yang ada di situ adalah warga kami, polisi pula. Dia mungkin mengira bahwa orang itu sama-sama pengunjung seperti dirinya.

Langsung saja, warga kami yang polisi itu dengan paksa membuka kaca helm yang masih dikenakan pengunjung itu. “Karepmu opo mas? Nek ra nduwe duit ngomong wae, tak bayari mlebu. Tapi ora sak penake ngene.” Dengan sedikit nggonduk dan malu, pengunjung tadi langsung mengembalikan pot yang sudah digulingkannya. Inilah enaknya punya tetangga polisi.hehe

- Mumpung sudah di pasar malam, sekalian saja saya mencoba sebuah wahana yg selama ini belum pernah saya masuki, yaitu ‘TONG SETAN’ (setidaknya itulah yg selama ini saya dengar, kata ‘setan’ dengan huruf ‘e’ yang begitu jelas.haha). Ternyata bapak saya, yg sudah hidup lebih lama dari saya, juga belum pernah mencoba permainan ini. Jadilah sepasang bapak dan anak, yg seharusnya membantu jaga parkir, malah menikmati sebuah wahana di pasar malam itu.hehehe

- Sekedar info, pasar malam itu diadakan di sebuah lapangan di kampung kami, dengan rumput lapangan yang luar biasa buruk. Kami berdua (saya & bapak saya) sebagai penikmat (lapangan) sepakbola, yg sore harinya baru saja menyaksikan pertandingan antara PersiMba Mbantul vs PersikaMb kab.Mbandung yg digelar di lapangan dengan kualitas rumput lumayan bagus, tiba-tiba mengkritisi rumput yg sedang kami pijak.

Ya, dengan rumput yg begitu tinggi, gundul dimana-mana, & becek, bagaimana bisa anak-anak bermain bola dengan baik? Bagaimana mungkin sepakbola kita bisa maju jika lapangan untuk latihan saja tidak memadai? Bagaimana kita bisa menjadi tuan rumah piala dunia 2022 jika infrastrukturnya seperti ini? Hanya pertanyaan, tidak ada jawaban.

- Dalam sebuah kesempatan, ketika kami sedang berjalan melewati beberapa tetangga kami, saya merasakan sebuah tekanan mental menjadi anak seorang pejabat (bapak saya RW lho.hahaha) Ada sedikit celetukan dari seorang tetangga yg secara tak sengaja menyinggung saya, saya sebagai bagian dari keluarga saya. Tapi bukan itu masalahnya. Yang saya rasakan, dari situ saya seakan diingatkan, tidak mudah menjadi seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara, Pak SBY misalnya. Beliau memimpin sebuah negeri dengan sejuta masalah. Ditambah lagi dengan orang-orang yang selalu mempermasalahkan masalah-masalah itu. Kita tak bisa melimpahkan semuanya kepada satu pihak saja. Tanggung jawab sudah jelas ada pada semua komponen bangsa ini.

- Ketika pasar malam hampir selesai, sekitar pukul 22.00, seorang tetangga kami datang dengan membawa sekantong plastik. Apa yang ia lakukan? Beliau mengumpulkan gelas-gelas plastik bekas air mineral untuk kemudian dijual dengan harga yang sudah pasti tidak seberapa. Saya mendapat satu lagi pelajaran. Saya kembali diingatkan, bahwa masih banyak saudara kita yang tidak seberuntung kita. Kita, dengan segala kelebihan yang kita miliki, dituntut untuk lebih mensyukuri dan mengoptimalkan kelebihan itu. Jangan selalu melihat ke atas untuk membandingkan apa yang sudah kita miliki, tapi lihatlah juga ke bawah. Dengan cara itu kita pasti akan lebih mudah untuk bersyukur.

- Yang terakhir ini agak memalukan. Setelah pasar malam selesai, sebuah keributan terjadi di salah satu sisi lapangan. Ternyata dua kampung tetangga kami sedang terlibat perselisihan. Banyak dari mereka yang mabuk, motor digembor-gemborkan, saling mencela, dan yang aneh sogok-sogokan bambu (seperti orang main anggar.serius!). Saya jadi teringat kata teman saya, teman kuliah saya. Dia berasal dari sebuah SMA yang notabene, katanya, musuh dari SMA saya.

Dia dulu sewaktu SMA masih aktif dalam dunia pertawuran tingkat SMA, namun setelah masuk kuliah dan baru-baru ini melihat adik-adik angkatannya melakukan hal yang sama dengannya, dia mengaku malu atas apa yang dulu ia lakukan. Sebuah tindakan yang buang-buang waktu, kurang kerjaan, dan tentu saja merugikan. Dia menyesal, untuk apa dulu dia ikut-ikutan kegiatan semacam itu. Saya rasa sebuah penyesalan yang terjadi akibat dari pendewasaan seseorang.

Saya pun merasa demikian. Banyak sekali penyesalan atas apa yang pernah saya lakukan dulu. Namun sisi positifnya, hal-hal yang salah telah membawa kami menuju sesuatu yang lebih baik. Lingkungan kuliah telah sedikit banyak memberi kontribusi pada proses pendewasaan kami. Inilah kuliah, sebuah masa di mana kita dituntut untuk selalu memberikan yang lebih baik dari sebelumnya.

Ok, sekian yang bisa saya ceritakan kali ini. Yang baik silakan diambil pelajarannya, & yang jelek dicari saja baiknya kemudian diambil juga pelajarannya.hehe. Tunggu kisah saya berikutnya, dengan cerita-cerita yang lebih fresh tentunya :)

2 komentar:

  1. brarti koe melu tawur luth??sangar iki..hahaha

    tawuran ki ncen ra ono gunane, nggo neruske gengsi sekolah wae bocah2 sek do tawur kae kii..

    pasar malam is the best, ngalahke studio trans tipi,wakakak..opo mneh nek ono jathilane, wis ra ono sek madhani mneh masdab..

    BalasHapus
  2. ora lah..mung ndelok wae.
    lha aku yo wedi e.hahaha


    jooh..jathilan.
    tontonanku mbiyen je.
    saiki yo kerep ndelok,
    tp do ngamen neng prapatan kae. ironis.

    BalasHapus